Oleh Tiffany Goh
Interaksi antara manusia dan gajah semakin meningkat, dan menyebabkan masalah besar bagi keduanya. Konflik ini terjadi ketika gajah memasuki wilayah manusia, merusak tanaman, dan terkadang mengancam nyawa. Masalah ini muncul akibat menyusutnya habitat gajah, semakin banyaknya permukiman manusia yang mengambil alih wilayah jelajah gajah, serta persaingan dalam memperebutkan sumber daya.
Keadaan gajah Sumatra di Indonesia cukup mengkhawatirkan. Laporan dari WWF Indonesia menunjukkan bahwa antara tahun 2004 hingga 2013, di Provinsi Riau saja sebanyak 129 ekor gajah Sumatra yang berstatus Kritis (Critically Endangered) telah mati. Hal ini menyoroti perlunya upaya konservasi yang mendesak.
Untuk mengatasi masalah ini, para konservasionis menerapkan pendekatan yang menyeluruh dan mulai menunjukkan hasil yang prospektif. Mereka berfokus pada perlindungan habitat gajah, edukasi masyarakat lokal tentang perilaku gajah, serta menciptakan cara-cara untuk mencegah gajah memasuki permukiman manusia. Langkah-langkah ini membantu kelangsungan hidup gajah yang rentan, terutama di daerah seperti Sumatra, di mana populasinya telah menurun secara drastis.
Di Tesso Nilo, Provinsi Riau (Sumatra, Indonesia), hubungan antara manusia dan gajah berlangsung dengan penuh permasalahan. Gajah seringkali menginjak-injak tanaman saat mencari makan, menyebabkan kerugian ekonomi yang signifikan bagi pekebun lokal. Beberapa warga desa, merasa cemas atas kerugian yang terjadi, bahkan mencoba cara berbahaya seperti memberikan racun pada buah-buahan untuk mengusir gajah.
Untungnya, pendekatan baru untuk hidup berdampingan mulai berkembang, membawa harapan untuk masa depan yang lebih baik.
Seekor gajah dari tim patroli pencegahan konflik satwa (Flying Squad) berdiri gagah, bersama pawang yang menuntunnya melewati hutan Taman Nasional Tesso Nilo. Gajah-gajah terlatih ini berperan sebagai penjaga bagi sesamanya, membantu mengarahkan kawanan gajah liar menjauh dari ladang, dan mencegah konflik dengan masyarakat.
Di balik inisiatif ini, Yayasan Taman Nasional Tesso Nilo (YTNTN)—sebuah organisasi independen yang terpisah dari Balai Besar Taman Nasional Tesso Nilo (BTNTN)—bekerja sama dengan Musim Mas, telah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk membangun kepercayaan dengan masyarakat setempat, serta mengedukasi mereka tentang cara mengatasi konflik tanpa membahayakan gajah. Sebagai bagian dari strategi mitigasi jangka panjang ini, yayasan telah melatih tiga ekor gajah untuk mengendalikan upaya mitigasi konflik.
Lebih dari sekadar mitigasi konflik, proyek ini juga memberikan dampak ekonomi dan sosial yang signifikan, terutama bagi perempuan dan pekebun lokal. Dengan menyediakan peluang mata pencaharian yang berkelanjutan, inisiatif ini membantu masyarakat pedesaan untuk menghadapi, dan pulih dari permasalahan yang ditimbulkan oleh konflik antara manusia dan satwa liar. Program ini mendukung kelompok perempuan dalam menghasilkan pendapatan, menanam tanaman yang tidak disukai gajah, serta mengompos kotoran gajah menjadi pupuk organik.
Pengomposan kotoran gajah menjadi pupuk organik yang bernilai bagi pertanian lokal, menjadi salah satu contoh dampak positif dari inisiatif ini. Meskipun bukan bagian langsung dari program kami, praktik berkelanjutan ini muncul melalui program Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH). Upaya ini tidak hanya membantu mengurangi limbah, tetapi juga memberikan sumber pendapatan tambahan bagi masyarakat, serta mendorong konservasi dan pemberdayaan ekonomi. Pupuk organik ini juga digunakan untuk menyuburkan tanaman yang mereka budidayakan.
Para perempuan dengan penuh ketekunan merawat tanaman untuk pakan gajah seperti cempedak, nangka, dan bambu, yang kemudian dijual kepada YTNTN untuk mendukung upaya penanaman di area seluas 10 hektare di habitat gajah di Tesso Nilo, serta di kawasan konservasi Musim Mas yang berada di jalur yang dilewati gajah. Upaya yang mereka lakukan tidak hanya menyediakan makanan bagi gajah, tetapi juga memberikan stabilitas finansial bagi keluarga mereka.
Kelompok perempuan ini juga menanam dan menjual tanaman yang tidak disukai gajah, untuk membantu pekebun melindungi lahan mereka dari konflik dengan satwa liar. Tanaman dari keluarga Rutaceae (keluarga jeruk-jerukan), terutama jeruk purut (Citrus hystrix), penghasil minyak atsiri yang secara alami dapat mengusir gajah.
Uji coba telah dilakukan dengan menanam lima jenis jeruk di tiga lahan perkebunan masyarakat yang berada di jalur gajah. Selama area tanamnya masih kecil, gajah tidak akan pernah mendatangi ladang-ladang tersebut. Inisiatif ini membantu menciptakan penghalang alami terhadap gajah, sekaligus memberikan sumber pendapatan tambahan bagi masyarakat.
Apa yang dulunya merupakan perlawanan bertahan hidup antara manusia dan gajah, kini telah bertransformasi menjadi model konservasi gajah yang menguntungkan bagi keduanya. Flying squad menjadi simbol dari terobosan tersebut. Para perempuan dan pekebun lokal telah membuktikan bahwa konservasi satwa liar dan pertumbuhan ekonomi dapat berjalan beriringan. Mereka menjadi contoh bahwa melindungi satwa liar tidak berarti mengorbankan mata pencaharian, melainkan menemukan cara baru untuk tumbuh bersama.










